Cari Blog Ini

Rabu, 28 Februari 2018

Mono, Lara

Ordinary Cafe, 14 April 2015, 20:47 WIB.

Keduanya duduk berhadapan namun tak saling memandang. Mungkin dunia terlalu sibuk saat itu, hingga mereka tak mau membuatnya semakin lelah. Maka mereka hanya diam, hanya memperhatikan lampu-lampu yg tergelar di setiap sisi, kendaraan yang tak henti berlalu lalang, dan manusia lain yang diberi gelar paling berkontibusi menyibukkan si Dunia. 

Tak tahan dengan diam, wanita itu mulai berceloteh

"Pernah tidak kamu berfikir kalau foto adalah salah satu cara menghentikan waktu? Aku dan siapapun bisa mengabadikan satu momen untuk dimiliki selamanya."

"Selamanya terlalu lama. Satu atau dua tahun saja sudah..."

"Makanya, dua tahun ini akan ku abadikan" potong wanita itu dengan nada optimis yang sangat dipaksakan.

"Satu atau dua tahun saja sudah melelahkan putri. Kau tidak benar mengerti arti abadi kan?"

"Kenapa tidak coba mencari tau seberapa lama 'abadi' itu sama-sama?"


"Lelah putri. Mari kita hentikan" ia masih tidak memandang sosok di sebrang mejanya.

Wanita itu diam. Mereka diam, seperti dilarang untuk bersuara. Saling memikirkan namun menyibukkan mata masing-masing. Wanita itu menurunkan tangan ke bawah meja, tangannya saling bertaut, meminta kekuatan pada satu sama lain. Kakinya mulai bergetar. Entah bosan atau gugup. Namun matanya kosong menatap ice cream yang sejak tadi menggigil sebab dinginnya suasana diantara mereka.


"Sudah 1/2 jam lebih, tapi mereka hanya diam" Gerutu dunia. Mereka bukan meringankan beban dunia. Malah mengalihkan fikirannya. Seperti orangtua yang khawatir saat anaknya sakit. Anomali memang kerap membuat banyak orang was-was. Bayangkan saja jika Petisah tiba-tiba tak bersuara, tak berbau, tak lagi sibuk.


Malam juga sejak tadi memperhatikan mereka, dia yg selalu menjadi saksi kisah asmara pun ragu menerjemah suasana. Kemudian seisi dunia mulai semakin ribut bertanya. Langit, malam, lantai, ice cream bahkan angin yg baru lewat pun mulai menerka-nerka.


"Maaf" Akhirnya lelaki itu buka suara.


Wanita itu hanya membalas senyum. Getir. Bibirnya bergetar namun tak bersuara. Meja yang menengahi mereka pun merasa sesak.


Sejak dua minggu lalu wanita yang disebut putri itu memang menghindari topik lara ini. Sudah dua minggu lebih beberapa hari juga ia latihan bagaimana harus bertutur ketika ia harus menghadapinya. Dan tak lulus juga


"Jangan begitu,  aku sakit jika kamu sedih" Kata sang lelaki menenangkan.


Lalu semenit kemudian wanita itu mulai menangis. Tak tanggung,  airmatanya lantas membasahi suasana. Benci jika pangeran lari meniggalkannya. Tak sanggup menahan diri, tak ingin dunia melihat airmatanya, ia menyandarkan keningnya pada meja. Menjerit curhat pada meja yg tak bisa kabur meski ia sangat ingin menjauh dari sana.


"Bagaimana ia sanggup berkata seperti itu? Masih saja membual sakit karena ku? Aku memendam semua yg ingin ku tanyakan,  yg ingin ku utarakan, dan memberikan senyum terbaik yang ku punya untuk menerima keputusannya.  Bahkan aku yg seperti ini menyakitinya?" Menggigit bibir karena tak ingin buncah kesedihnnya terdengar, namun hatinya gusar perkara tak mampu menanggung luka. Jika kau ingin tau bagimana cara menjerit tanpa suara, kau harus menemui wanita ini. Dia ahlinya.

"Nikmati saja sakitnya,  aku juga begitu.  Aku sudah lama tak bahagia dengan kita.  Kamu pun tau itu.  Jika kamu ingin aku bahagia,  menyerahlah.  Aku telah mendamba putri lain". Lelaki itu mengoceh sambil berdiri ingin meninggalkan sang wanita dan tangisnya yang menghebat.


Tak ingin ditinggal sepihak, wanita itu menguatkan pijakannya, berdiri. Sebelum menatap lawan bicaranya,  lebih dulu ia menghapus jejak sedihnya.

"Haruskan akau memberimu selamat?" Balasnya seraya menatap lelaki itu dan mengulurkan tangan.


"Jangan memaksakan dirimu.  Aku akan tetap bahagia tanpa ucapan selamat darimu" kata lelaki itu seolah tak rela sang wanita lepas dari jerat sakit dan menghempaskan mimpinya ke dasar yang paling jauh dari kata bahagia.


Tapi kamu tau apa yg keren dari jatuh ke tempat paling rendah? Kamu cuma punya satu jalan keluar dan itu ke atas. Pepatah itu juga berlaku untuk wanita yang diabaikan ketulusannya. Senyumnya merekah dengan sendirinya. Senyum itu cukup mewakilkan ucapan "selamat,  aku turut bahagia".


Kisah ini bercerita bagaimana proses seorang wanita mengerti, menerima lalu melupakan skenario yang memporak-porandakan hidupnya. Seperti dahsyatnya sapuan ombak Samudra Hindia pada hari Minggu, 26 Desember 2004 yang menyapu bersih Aceh, sebuah kota di Barat Daya Sumatera.


To Be Continued.

3 komentar:

  1. Balasan
    1. makasiiih. semoga bisa jadi pembaca tetap yang memberikan kritik yang buanyak

      Hapus
  2. Mungkin dia bukan yang terbaik

    From Pemuja Rahasiamu waktu SMA 😅🤭

    BalasHapus